|
1st AnCOMS Kopertais IV Surabaya Tahun 2018 |
MEREDUKSI RADIKALISME MAHASISWA BERBASIS NILAI-NILAI
MULTIKULTURAL DI PERGURUAN TINGGI ISLAM
Amru Almu’tasim
NIDN. 2105097901
Dosen Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam (IAI)
Uluwiyah Mojokerto
ABSTRACT
Radical Islamic groups began to create a cadre base in
college, the change movement this group performed a select group of students as
new agents that are considered capable of changing patterns of movement. The
rising tide of Islamic radical groups among the students can not be separated
from the regeneration efforts of intellectuals among Islamic fundamentalists.
The strategy does is to make students indokrinasi ideological hard to part from
this group. This phenomenon eventually form a new metamorphosis of the radical
Islamic movement on campus. With cultivate Islamic studies and nuanced action
multicultural values radicalism and fundamentalism virus can at least be
reduced.
Keyword. Radical, College, Multicultural Values
A. Pendahuluan
Keragaman telah menjadi bagian
sejarah dan realitas kehidupan kemanusiaan, sehingga ia merupakan fenomena
alamiah yang eksistensinya tidak dapat dipungkiri (baca: lakum dînnukum
waliya dîn). Namun pada realitas konkret, keragaman
telah menjadikan manusia terjebak pada sikap-sikap destruktif. Adanya konflik
antar berbagai komponen masyarakat dengan latar belakang SARA (Suku, Agama, Ras
dan Antargolongan).
Dari sekian banyak faktor pemicu,
faktor perbedaan agama, bahkan perbedaan faham keagamaan, merupakan faktor yang
tidak bisa dikesampingkan.
Kasus-kasus kerusuhan dan peperangan di berbagai belahan dunia, menunjukkan
betapa agama telah dijadikan alat “penghancuran” manusia, di mana hal ini
sangat bertentangan dengan ajaran semua agama.
Hal tersebut menunjukkan bahwa selama berabad-abad, sejarah interaksi antarumat
beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih
dapat mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber
dari yang Mahakuasa,
pada hal sejatinya, setiap agama mengajarkan perdamaian, kebersamaan sekaligus
menebar misi kemaslahatan.
Hasil penelitian tahun 2011 yang dilakukan pada lima universitas
ternama di Indonesia yaitu UGM, UI, IPB, Unair dan Undip, menunjukkan ada
peningkatan pemahaman fundamentalisme keagamaan di kalangan mahasiswa di
kampus-kampus umum.
Perguruan Tinggi Islam sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional mempunyai tanggung jawab (moral obligation) dalam penyebaran
nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme, inklusivisme dan toleransi. Namun,
kenyataannya Pendidikan Agama Islam yang selama ini diajarkan di sekolah,
pesantren, madrasah, kampus dan institusi Islam lainnya turut memberikan
kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Akibatnya, Agama seringkali menjadi pemicu
timbulnya “percikan-percikan api” yang dapat menyebabkan konflik horizontal
antar pemeluk agama.
Secara realitas apa yang dikemukakan
oleh Russel T. McCutcheon bahwa menghadapi kehidupan ini memerlukan multicultural
pendekatan, terutama hal-hal yang berkaitan dengan dengan problem keagamaan.
Apa yang disebut dengan kekerasan beragama dan fundamentalisme beragama
sebenarnya hal ini sangat dikaitkan dengan kondisi dan pendekatan yang harus
digunakan untuk merespon hal tersebut.
1. Radikalisme di Kalangan Mahasiswa
Radikalisme berasal dari kata radikal yang artinya besar- besaran dan menyeluruh, keras, kokoh,
maju dan tajam
(dalam berpikir). Biasanya radikalisme didefinisikan sebagai
faham politik
kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai
jalan untuk
mencapai taraf
kemajuan. Dengan pengertian
yang
semacam ini, radikalisme tidak mesti berkonotasi negative.
Radikalisme yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah gerakan-gerakan keagamaan (Islam) radikal di kalangan mahasiswa yang bercita-cita
ingin melakukan
perubahan besar dalam politik
kenegaraan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Perubahan besar dalam politik yang dimaksud adalah mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia.
Kata atau istilah radikalisme dalam
tulisan
ini
akan digunakan dengan istilah lain yang sejenis seperti istilah militan, garis keras, dan fundamentalisme. Pengertian militan kalau merujuk kepada kamus bahasa Inggris Collin Cobuild, English Dictionary for Advanced Learners 2000, bermakna seseorang atau suatu sikap yang sangat percaya pada sesuatu dan aktif mewujudkannya dalam perubahan sosial politik. Bahkan cara-cara yang digunakan sering bersifat ekstrim dan tidak
bisa diterima oleh orang lain. Sedangkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa arti militan adalah bersemangat tinggi, penuh gairah, atau berhaluan keras
Azyumardi Azra; mendeskripsikan tentang gerakan-gerakan radikal Islam, mulai dari aspek historis, doktrin, akar-akar ideologis, tentang jihad baik pada tataran
konsep maupun prakteknya,
hingga lahirnya
radikalisme dalam politik yang mewujud dalam aksi-aksi terorisme baik pada
tatanan lokal, regional hingga internasional
Saifuddin mengatakan, Proses radikalisasi ternyata juga
menjangkau
kampus khususnya kalangan mahasiswa. Salah
satu
buktinya adalah tertangkapnya lima dari tujuh belas anggota jaringan Pepi Fernando berpendidikan sarjana, tiga
di
antaranya
merupakan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Penting juga dikemukakan di sini sebagai
pisau analisa dalam tulisan
ini apa yang dikemukakan oleh Sa’id al-’Ashmawi
sebagaimana dikutip oleh
Kamaruzzaman mengenai fundamentalisme.
Ia membagi
gerakan fundamentalisme menjadi dua kategori, yaitu fundamentalisme rasional spritual dan fundamentalisme aktifis politik.
Fundamentalisme rasional spritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, golongan
ini menganggap penting menemukan istilah-istilah dalam
Al-Qur’an ketika
turunnya wahyu dan
berpegang pada pengertiannya. Kedua,
golongan ini
mencoba mengkaji
dasar-dasar yang
tersimpan dalam
Al-Qur’an dan mengikuti umat
Islam yang
telah menafsirkan
wahyu. Ketiga, golongan ini menekankan pada perlunya
kembali kepada esensi ciri-ciri Islam yang toleran, rahim, mengikis penderitaan manusia dan menolak ekstrimisme. Golongan fundamentalisme yang seperti ini termasuk golongan yang dikenal moderat.
Kategori kedua,
fundamentalisme aktifis politik juga memiliki tiga ciri-ciri,
yaitu: Pertama, golongan ini mempersempit istilah-istilah yang diambil
dari Al-Qur’an dan atau memberlakukan pengertian yang sama sekali tidak terdapat
di dalam Al-Qur’an. Kedua,
golongan ini mengabaikan kondisi turunnya
Al-Qur’an dan menyimpang dari penafsiran nabi Muhammad Saw, kemudian mengakui penjelasannya dan menguraikan ayat Al-Qur’an dalam bentuk slogan. Ketiga, golongan ini cenderung melakukan penafsiran
yang dangkal
dan melakukan
perbuatan yang tidak sama dengan yang
dikatakan.
Oleh
sebab itu,
golongan ini sangat membingungkan dan tidak rasional. Golongan inilah yang
kemudian dapat berubah menjadi
gerakan-gerakan ekstrim, militan atau radikal.
2. Pengembangan Nilai-Nilai Multikultural Pada Perguruan Tinggi Islam
Penanaman nilai-nilai multikultural pada Perguruan
Tinggi Islam penting diterapkan, ada
beberapa nilai-nilai multikultural yang dianggap esensial yang dapat
dikembangkan
sebagai
berikut:
1) Cinta Perdamaian
Filosof Baruch Spinoza mengkristalkan
pengamatannya tentang perdamaian
dengan mengatakan:
Perdamaian bukanlah semata ketiadaan
peperangan, melainkan suatu keutamaan (kebaikan moral yang melandasi
karakter
dan perilaku), cara berpikir,
disposisi (karakter
dan
pola perilaku)
yang terarah
ke
kelembutan dan kemurah hatian,
rasa percaya dan penghayatan
keadilan”.
Galtung dan Brand Jacobsen
menegaskan bahwa
perdamaian
terkait dengan kekerasan,
sebagaimana kesehatan
terkait
dengan
penyakit. Maka beberapa
melawan kekerasan
ini penting sekali
penerusan eksistensi
(keberadaan) umat manusia
di dunia.
Anjuran untuk membangun kehidupan
yang damai dan rukun
antara umat beragama,
juga dijelaskan dalam al-Qur’an,
seperti
surat
al-Anfal ayat 61 berbunyi:
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (al-Anfal: 61)
2). Cinta Kearifan (Wisdom)
Menurut Hanna,
Memak, dan Chung, kearifan
diartikan sebagai seperangkat sifat-sifat
manusia yang meliputi aspek kognitif dan afektif,
dan
kekuatan- kekuatan
karakter serta
perilaku untuk mencapai
pemahaman
terhadap
diri, orang lain, lingkungan, dan kemampuan
berinteraksi interpersonal secara tepat dan menyenangkan.
Menurut Muchtar Buchori, kearifan
hanya
dicapai
kalau kita
mampu berpikir
secara reflektif.
Kegagalan
untuk berpikir
secara reflektif akan menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak arif,
tindakan yang ceroboh.
Salah satu tindakan yang
tidak arif adalah tindakan nekat, yaitu tindakan yang dilakukan
tanpa didahului oleh pertimbangan
yang cukup rasional.
Menurut Joseph Le Doux, tindakan
nekat atau
ceroboh
terjadi apabila seseorang membiarkan emosinya mendorong
lahirnya suatu tanpa
memberi kesempatan
kepada
inteleknya untuk melakukan intervensi.
Kemampuan untuk melepaskan dari cengkeraman
refleksi emosional semacam inidisebut “metamood”. Metamood ini harus dikembangkan, dan salah satu
caranya
adalah belajar
mengenali emosinya sendiri yang akan melahirkan
tindakan impulsif.
Mengenali
situasi-situasi yang dapat menimbulkan
dalam
diri sendiri rasa marah, rasa cemburu, rasa malu, dan rasa kecewa – untuk sekedar menyebut contoh-contoh
mengenai
jenis
emosi
– merupakan
modal yang sangat berharga.
Bagi Garner, kunci kearifan adalah kerendahan
hati. Seseorang yang
arif menunjukkan perilaku
rendah
hati, bertindak sesuai kesadaran dan rasionalitas, cermat
dalam perhitungan, dan mampu menawarkan beragam alternatif.
3). Sikap Hidup Inklusif
Dalam masyarakat majemuk yang menghimpun penganut beberapa agama, teologi eksklusivis (tertutup) tidak dapat
dijadikan landasan untuk hidup berdampingan secara damai dan rukun. Indonesia
dengan mayoritas penduduknya
penganut Islam harus
mampu
memberi
contoh pada umat agama lain
bahwa hanya
teologi inklusivis (terbuka) yang cocok
untuk berkembang di bumi Indonesia.
Al-Qur’an mengajarkan
sikap
inklusif
dalam
beragama, yakni
Islam melarang adanya paksaan terhadap
keberagamaan
seseorang. Seseorang bebas
memilih agama ini atau agama itu. Allah berfirman yang artinya:
Dan jika seandainya Tuhanmu menghendaki maka pastilah beriman semua orang di muka bumi tanpa kecuali. Apakah
engkau (Muhammad) akan memaksa umat manusia
sehingga mereka
semua
berman? (QS. Yunus/10:99).
4). Menghargai Pluralitas
Keanekaragaman (pluralitas) agama
yang hidup di Indonesia,
termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan
yang ada di dalam
tubuh intern
umat beragama adalah merupakan kenyataan historis yang
tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Pluralitas
apabila dikelola
dengan baik, maka
akan menjadi
kekuatan positif,
tetapi jika tidak
dapat
dikelola dengan baik maka akan menjadi
destruktif.
Pluralisme tidak dapat dipahami
hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita majemuk,
beraneka ragam,
terdiri dari berbagai
suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan
pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami
sekedar
sebagai “kebaikan negatif”
(negative
good), hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme
(to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban”
(genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
H.A.R. Tilaar mengatakan, Pendidikan multikultural dalam pandangan
Tilaar benar-benar harus mampu mewujudkan manusia cerdas. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mengembangkan pribadi-pribadi
manusia Indonesia agar menjadi manusia-manusia yang cerdas. Hanya manusia
cerdaslah yang dapat membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Manusia cerdas
adalah manusia yang menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan
sebaik-baiknya untuk peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan
maupun sebagai kelompok, dan sebagai anggota masyarakat bangsanya.
Kemudian
manusia cerdas juga manusia yang bermoral dan beriman sehingga kecerdasan yang
dimilikinya bukan untuk memupuk kerakusannya mengusai sumber-sumber lingkungan
secara berlebihan ataupun di dalam kemampuannya untuk memperkaya diri sendiri
secara tidak sah (korupsi), tetapi seorang manusia cerdas yang bermoral pasti
akan bertindak untuk tujuan yang baik.
Selanjutnya
manusia yang cerdas bukanlah yang ingin membenarkan apa yang dimilikinya,
cita-citanya, agamanya, ideologi politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain,
tetapi seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada
di dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama. Sehingga ia merumuskan ciri-ciri
utama masyarakat cerdas yang dibutuhkan oleh Indonesia, yakni:
a. Cerdik Pandai (Educated)
Dalam konteks Indonesia cerdik pandai bukan hanya sekedar
memiliki ilmu pengetahuan yang up-to-date dalam masyarakat, namun lebih
dari itu harus mampu memahami adat istiadat yang berlaku di masyarakat,
sehingga merekalah yang nantinya akan mepertimbangkan apakah adat istiadat yang
sedang hidup atau dan terpelihara telah usang sehingga perlu diperbaiki, dan
mengembangkan berbagai adat istiadat lain yang lebih sesuai dengan kemajuan
msyarakatnya. Mereka yang disebut dengan manusia terdidik.
b. Energik-Kreatif
Bangsa Indonesia pada masa kolonial
terkenal dengan bangsa pemalas, bahkan ada ungkapan bahwa orang Indonesia dapat
hidup sebenggol sehari (sebenggol sama dengan 2,5 sen). Namun di era
globalisasi ini kita tidak dapat lagi bersikap menerima akan pemberian alam
yang murah bagi kita tetapi alam merupakan suatu ruang terbatas yang merupakan
paksaan seperti ungkapan Daoed Joesoef. Pertambahan penduduk menyebabkan ruang
kehidupan kita semakin lama semakin sempit, oleh
karena itu kita harus mengelaola lingkungan dengan sebaik-baiknya agar
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk mengolala lingkungan diperlukan
manusia-manusia yang energik dan kreatif sehingga dapat membangun
masyarakatnya, bahkan dapat bersaing dengan Negara lain.
c. Responsif Terhadap Tuntutan
Masyarakat Demokratis
Amanat Undang-undang Dasar 1945, yaitu ingin membangun
suatu masyarakat demokratis. Hal ini berarti setiap masyarakat perlu memiliki
sikap yang diminta oleh suatu masyarakat demokratis. Yang diminta dalam
masyarakat demokratis bukan hanya sekedar perwujudan dalam bentuk institusional
(lembaga perwakillan rakyat, lembaga kehakiman dan lainnya) namun yang penting
adalah anggota dari masyarakat demokratis harus memiliki civic skill yaitu
tingkah laku sebagai warga negara yang baik.
d. Daya Guna (Skilled)
Anggota masyarakat yang demokratis adalah anggota yang
produktif. Untuk menjadikan masyarakat yang produktif harus mempunyai kesadaran
sebagai warga dari masyarakatnya. Oleh sebab itu “skilled people” merupakan
syarat dari suatu masyarakat yang produktif dan demokratis.
Pendidikan multikultural bukan hanya bertujuan untuk
menimbulkan rasa harga diri atau identitas dari masing-masing kelompok tetapi
juga kemungkinan untuk mengapresiasikan keterampilan-keterampilan spesifik yang
dimilki oleh kelompok.
e. Akhlak Mulia (Moral- Religius)
Masyarakat dapat bertahan jika antara kemampuan
intelektual dibarengi dengan kemampuan akhlak mulia. Karena jika kita lihat
sejarah bahwa pengetahuan dapat menjadi bomerang bahkan menghancurkan manusia
seperti alat pemusnahan masal yang dapat merugikan orang lain. Salah satu sikap
orang yang akhlak mulai adalah sikap toleransi. Toleransi artinya menghargai sesama manusia
meskipun sesama manusia itu berbeda dengan dirinya dalam hal apaun.
f. Sopan Santun (Civilized)
Sifat-sifat yang dijelaskan diatas belum mamadai bagi seseorang
yang hidup di dalam ruang multietnis dan multibudaya seperti di Indonesia.
Modal utama komunikasi dalam masyarakat yang multi etnis dan multi budaya
adalah sopan santun. Karena tidak jarang terjadi perselisihan karena dianggap
kurang sopan karena ia tidak memahami adat istiadat orang lain.
Pada tabel berikut dijelaskan tentang ciri-ciri manusia
cerdas yang menjadi harapan dalam pendidikan multikultural.
Tabel 2. 2 Nilai-Nilai Pendidikan
Multikultural
Sikap
& Tingkah Laku
|
Kompetensi
|
Cerdik-pandai (educated)
|
- Kemampuan analitis
- Dapat mengambil pilihan
- Menguasai ilmu pengetahuan
- Gemar belaja
|
Energik-Kreatif
|
- Daya kreatif
- Rajin, kerja keras
- Tahan uji
|
Responsif terhadap masyarakat
demokratis
|
- Toleransi terhadap perbedaan
- Persatuan Indonesia
Pluralistik
- Inklusivisme
|
Daya Guna (skilled)
|
- Keterampilan yang bermanfaat
- Pemanfaatan sumber daya alam
|
Akhlak Mulia (moral-
religius)
|
- Bermoral
- Antikorupsi, antikolusi
- Religius subtantif
|
Sopan santun (civilized)
|
- Mengenal adat istiadat
- Mengenal tata pergaulan internasional
|
3. Nilai-nilai Multikultural
Secara etimologis multikultural dibentuk dari kata multi (banyak) dan kultur (budaya). Secara hakiki
dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Istilah multikultural adalah berkenaan lebih dari dua kebudayaan.
Istilah multikultural tidak saja merujuk pada kenyataan sosial-antropologis adanya pluralitas kelompok etnis, bahasa dan
agama yang berkembang di Indonesia, tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap
demokratis dan egaliter untuk biasa menerima keragaman budaya. Dengan kata lain
multikultural sulit tumbuh jika tidak ditopang kualitas pendidikan yang bagus.
Beberapa pakar memberikan pengertian tentang pendidikan multukultural diantaranya
Pendapat Andersen dan Cusher bahwa pendidikan multikultural
dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai
keragaman
kebudayaan.
Kemudian James Banks mendefinisikan
pendidikan
multikultural sebagai pendidikan
untuk people
of color.
Artinya
pendidikan
multikultural ingin mengeksplorasi
perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah) kemudian bagaimana kita
menyikapi perbedaan
tersebut
dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Muhaemin
el Ma’hady
berpendapat bahwa
secara sederhana pendidikan
multikultural
dapat
didefinisikan sebagai pendidikan tentang
keragaman kebudayaan
dalam meresponi perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).
Dari definisi-definisi itu bisa dikatakan bahwa
Perguruan Tinggi Islam berbasis multikultural
adalah
pengembangan pembelajaran Perguruan Tinggi Islam yang dilandasi
dengan nilai-nilai
multikultural sehingga mampu menghantarkan mahasiswa
kepada
kesalehan
individual
maupun kesalehan sosial.
Ada hal-hal
prinsip yang perlu dijelaskan disini ketika
mengimplentasikan nilai-nilai multicultural
dalam
wilayah keagamaan. Berikut ini
adalah
prinsip-prinsip penting yang harus
dihormati
dan dipedomani:
a. Pelaksanaan nilai-nilai multikultural
tidak
boleh pada masalah aqidah karena hal ini
berkaitan
dengan
keyakinan
seseorang terhadap Tuhan-nya. Masalah aqidah
tidak bisa dicampur-adukkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan multikultural. Jadi tidak
ada kompromi dalam hal keimanan,
kita harus tegas mengatakannya.
b. Pelaksanaan nilai-nilai
multikultural tidak boleh berada
pada wilayah ibadah (ubudiyah). Masalah ibadah dalam
agama
juga harus
murni sesuai
tuntunan Rasulullah. Syarat, tata
cara,
waktu dan tempat pelaksanaan ibadah
telah
di atur dalam Islam. Oleh
karena itu tidak dibolehkan menerapkannya
menurut kemauannya sendiri dengan alasan menjaga pluralistik.
Misalnya demi menghormati agama orang lain, lalu kita melakukan shalat di tempat ibadah agama orang lain. Ini jelas
dilarang
dalam Islam.
c. Pelaksanaan nilai-nilai multikultural
tidak dalam hal-hal
yang dilarang dalam ajaran
Islam. Misalnya demi menghormati
dan
menghargai orang lain yang kebetulan dalam suatu
pesta acara di rumah orang
non-muslim, ternyata ada menu
makanan yang diharamkan dalam
Islam.
Maka kita harus menjauhinya
dan tidak boleh ikut memakannya.
d. Pelaksanaan
nilai-nilai
multikultural hanya
dibolehkan
pada aspek-aspek
yang menyangkut
relasi
kemanusiaan (mu’amalah
ma’annas). Biasanya ini
masuk
dalam kawasan tuntunan agama yang berkaitan dengan mu’amalah dan akhlak kepada manusia.
Penutup
Konsep nilai-nilai multikultural
di perguruan tinggi Islam ketika di terapkan akan berkembang menjadi budaya,
sebagaimana teori budaya James Kaplan bahwa jika ingin merubah budaya maka
hadirkan budaya baru. Konsep reduksi radikalisme ini memang tidak sederhana
dalam kenyataannya, di butuhkan kerjasama semua stakeholder dalam menciptakan
budaya kampus yang Islami dengan tetap menjunjung tinggi keberagaman, sopan
santun, saling menghormati dan toleransi atas agama lain. Bukankah Allah telah
menggariskan dalam alqur’an surat al Kafirun bahwa untukmu agamamu dan untukku
agamaku yang dapat ditarik benang merah bahwa, perbedaan adalah sunnatullâh,
dan hal ini telah menjadi ketetapan sang kholik. Sikap radikalisme dan paham
fundamentalisme yang mengakar sekalipun tidak akan mampu membendung keberagaman
agama di bumi ini, dengan konsep dan aplikasi nilai-nilai multikultural di
perguruan tinggi Islam setidaknya mampu mereduksi aksi-aksi radikalisme dan
upaya kaderisasi para fundamentalisme Islam di kalangan mahasiswa.
Daftar Rujukan
Al qur’an dan Terjemahannya, Al Mubin, S. Al Kafiruun ayat 6, Pustaka Al Mubin,
Kramat Jati-Jakarta Timur.
A. Partanto. Pius dan M. Dahlan
al-Barry,
Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Penerbit Arkola, 1994), h. 648.
Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
Direktorat Pendidikan Agama Islam
Pada Sekolah. 2009. Panduan Model
Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural Sekolah Menengah Atas,
(Jakarta: Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama.
Garner. 1999.
Inteligence Refremed: Multiple Inteligences for the 24th Century.
New York: Basic Book.
Hanna, F. J.,
Hanna, C.\A., dan Chung, R.C. Toward a New Paradigm for Multicultural
Counseling. Journal of Counseling
& Development.
Majid, Abdul
dan Dian Andayani. 2005. Pendidikan Agama Islam Berbasis KompetensiKonsep
dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasir, H.M. Ridlwan
“Kata Pengantar”, Thoha Hamim, et.al., Resolusi Konflik Islam Indonesia (Surabaya:
Lembaga Studi Agama dan Sosial dan IAIN Sunan Ampel, 2007), v.
Purwanto dkk.
2007. Pengembangan Modul. Departemen Pendidikan Nasional, Puasat
Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan.
Purwanto,
Ngalim. 198. Pendidikan Toritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Shaleh, Abd.
Rachman. 1976. Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Dasar. Petunjuk Pelaksanaan
Kurikulum 1975. Jakarta: Bulan Bintang.
Saifuddin, Radikalisme
di Kalangan Mahasiswa, Jurnal Analisis, Vol.XI No.1 IPI, 2011
Shihab, Alwi. Islam Inklusif:
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung: Mizan,
1997)
Wajidi, Farid. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. (Yogyakarta: LKiS, 1994)
Al qur’an dan
Terjemahannya, QS. Al Kafiruun ayat 6, Pustaka Al Mubin, Kramat
Jati-Jakarta Timur
Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (Yogyakarta:
Lesfi,2002).
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding
Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), xiii.
Alwi
Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung:
Mizan, 1997), hlm.78
H.M. Ridlwan Nasir, “Kata Pengantar”, Thoha Hamim, et.al., Resolusi
Konflik Islam Indonesia (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Sosial dan IAIN
Sunan Ampel, 2007), v.
Masdar
Hilmy, “Kata Pengantar”, M. Faishol dkk, Problem Studi Agama (Insider dan
Outside), Pemikiran Islam Kontemporer, (Surabaya: Pustaka Media, 2012),
hlm. 162
Pius A. Partanto dan M. Dahlan
al-Barry,
Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Penerbit Arkola, 1994), hlm. 648.
Lihat, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 583
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik
Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996), hlm.93
Sebelumnya, mahasiswa
Fakultas Sains
dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah juga terlibat dalam aksi-aksi terorisme
yang berhasil
dilumpuhkan oleh Detasemen
Khusus (Densus)88
Anti Teror Mabes
Polri. Ini
sungguh mengejutkan
karena rektor perguruan tinggi tersebut
sering diundang
untuk berbicara tentang pluralisme
dan ajaran-ajaran Islam
yang damai.
Hal ini
menimbulkan pertanyaan
yang
cukup menggelitik karena
UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta dikenal liberal
tetapi ternyata kecolongan. Banyak analisis selama ini yang menyatakan
bahwa perekrutan jaringan
radikal di
kalangan mahasiswa
biasanya
ditujukan kepada perguruan tinggi-perguruan
tinggi umum
dan lebih khusus lagi mahasiswa
di fakultas-fakultas eksakta. Dengan kata
lain, kebanyakan mahasiswa yang direkrut
adalah berlatar belakang pengetahuan
keagamaan yang
minim. Dengan
begitu mereka lebih mudah untuk didoktrin, disampaikan
Jurnal Analisis, Vol.XI Nomor 1 2011.
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis (Magelang: Yayasan Indonesia
Tera, 2001), hlm. 21
Harris,
I.M., & Morrison, M.L., Peace Education, (NC: Mc
Farland & Company, 2003), hlm. 1-2.
Jagobsen, Galtung, J., C. G. dan
Brand Jacobsen, K.F., Tr anscend: A Philosophy Of Peace-And
One Way Of Enacting It, Dalam Galtung, J., Jacobsen, C.G.,
dan Brand Jacobsen, K.F., (Ed)., Searching for Peace To transcend,
(London: Pluto Press, 2002) hlm. Xiii.xxiii
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro. 2005), hlm. 271
Hanna, F. J., Hanna, C.\A., dan Chung, R.C., Toward a New Paradigm for
Multicultural Counseling, Journal of Counseling & Development, 2, hlm.
125-134
Mouchtar Buchori,
Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indoensia, dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi,
Civil Society, Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius,2000), hlm. 25.
Mouchtar Buchori, Peranan, hlm. 55.
Garner, Inteligence, hlm.131-134.
Departemen Agama RI.. Al-Qur’an , hlm. 322
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme,
Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta:
Grasindo, 2004), hlm 195.
Tilaar, Multikulturalisme. hlm. 197.
Tilaar, Multikulturalisme. hlm. 197.
Tilaar, Multikulturalisme. hlm. 203.
Choirul Mahfud, Pendididkan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2006),
hlm.75
Soerjono Soekonto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Royandi, 1985), hlm. 324.
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan
multikultural: Konsep dan Aplikasi (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2008),
hlm.126.
Mahfud, Pendididkan,
hlm.168.
Direktorat Pendidikan Agama Islam
Pada Sekolah, Panduan Model Kurikulum
Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural Sekolah Menengah Atas,
(Jakarta: Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama, 2009) hlm. 36-38