MEWUJUDKAN PELAJAR BEBAS RADIKALISME
Di Sampaikan dalam Acara Seminar Hari Santri Nasional Tanggal 22 Okt 2016
Amru Almu’tasim,SH,S.Pd.I,M.Pd.I*
Menjamurnya paham radikal
dan fundamental keagamaan tak lepas dari pengaruh globalisasi. Banyak orang
yang tak memahami makna globalisasi secara utuh dan hanya mengambil makna
negatifnya saja. Sehingga, saat ini tidak sedikit muncul perbedaan yang
mengarah pada perpecahan. Banyak orang dan kelompok yang hanya mau dengan
pendapatnya sendiri dan kelompoknya tanpa mau menghargai pendapat orang lain.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Konsep radikal harus dipahami dalam perspektif
agama yang toleran. Menjadi radikal dalam konteks agama, tidak harus disertai dengan perang
fisik dan aksi teror. Yang harus diperangi adalah efek negative dari ekstremisme
yang memaksakan kehendak kepada orang lain. Beberapa faktor yang mendorong seseorang bersikap
ekstrem dan melakukan aksi terorisme adalah perlakuan tidak adil. Kondisi
ketidakadilan itu kemudian akan dilawan dengan aksi kekerasan. Ketidakadilan,
bisa muncul dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, hukum, maupun
ekonomi faktor lain yang menyebabkan seseorang bersikap ekstrem adalah karena
pemahaman agama yang sangat sempit. Banyak paham agama secara salah dijadikan
dasar untuk melakukan tindak kekerasan oleh sekelompok orang. “Jihad sering
dijadikan dasar aksi teror, padahal jihad tidak selalu berarti perang fisik,
oleh karena itu senantiasa berhati-hati dalam berinteraksi terutama dalam hal
toleransi agama.
Setidaknya
menyangkut lima hal yang seharusnya berhati-hati terkait agama, yaitu menyangkut
tuhan, utusannya, kitab suci, tempat ibadah, dan tokoh yang dihormati. Manakala
salah satu saja di antara lima hal itu disinggung, direndahkan, dihina, dan sejenisnya maka pemeluk agama yang bersangkutan akan marah dan akan membelanya. Lima hal tersebut dirasakan sebagai harga diri, atau sesuatu yang sangat dimuliakan.
Dunia saat ini ditandai dengan dua fenomena ekstrim, yaitu saat ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin canggih, akhlak dan moralitas manusia menukik
ke titik nadir yang mengancam peradaban manusia. Lebih tepatnya, ketika
bangsa-bangsa di dunia semakin menunjukkan kreativitasnya, muncul ideologi
ekstrim dan kekuatan baru yang mengancam perdamaian dunia.Serangkaian aksi
teror seperti serangan teroris di Beirut, Paris, dan Bamako serta
berbagai belahan dunia lainnya meru/pakan bukti nyata semakin paradoksnya
situasi dunia saat ini. Munculnya radikalisme dan ekstrimisme yang kemudian
melahirkan terorisme dengan mengatasnamakan agama sudah pada tahap yang sangat
mengkhawatirkan.
Untukmenyelesaikanberbagaipermasalahantersebut
diatas, adatigahal yang dapatlakukan.Pertama, menumpas akar permasalahannya
dengan memastikan pembangunan berimbang, menghentikan kekerasan dan penindasan serta
menghilangkan diskriminasi dan menegakkan demokrasi. Deradikalisasi dengan meluruskan pemahaman-pemahaman yang
salah tentang Islam juga harus dilakukan.
Kedua, karena teroris memerupakan masalah global, semua pihak perlu merapatkan
barisan.Yaitu dengan melakukan aksi nyata mengatasi aksi radikalisme,
ekstritimisme dan terorisme Ketiga Akar pencegahan radikalisme
sebenarnya dari keluarga, kemudian sekolah seagaimana disampaikan oleh guru
besar Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri (UNJ) Jakarta Asep Usman Ismail
memberi pendapat soal mencegah paham radikalisme di kalangan anak dan pelajar.
Guru besar Tasawuf mengatakan:
“Ada beberapa strategi untuk mencegah paham radikal di kalangan pelajar. Pertama, tercantum atau ada pelajaran khusus pendidikan anti
kekerasan. Kedua, masuk dalam semua pelajaran, agama,
sejarah, IPS, dll,” kata Asep.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang
dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo --yang juga guru besar sosiologi Islam di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar
setuju tindakan radikal. Data itumenyebutkan
25% siswadan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8%
siswadan 76,2% guru setujudenganpenerapanSyariat Islam di Indonesia. Jumlah
yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas
agama mencapai 52,3% siswadan 14,2% membenarkan serangan bom.
Radikalisme itu sendiri dalam bentuknya memang seakan
terasa lunak karena tidak menimbulkan kekerasan langsung, karenanyatidakmenarikperhatianpihakkeamanan,
dan masyarakat pun tidakmemberikanperhatiankhusus.Akibatnya, banyak kalangan lengah.
Untuk mengikis penyebaran paham ini pemerintah harus melakukan intervensi terhadap
pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan penggunaan ruang pendidikan. Terutama disekolah
menengah dan kampus, agar mengajarkan keterbukaan dan ruang pendidikan tidak dikuasai kelompok tertentu.
Dalam survei The Pew Research Center pada 2015 lalu, mengungkapkan di
Indonesia, sekitar 4 % atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia
mendukung ISIS – sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda.
Solusi:
1. Pertama,
menumpas akar permasalahannya dengan memastikan pembangunan berimbang,
menghentikan kekerasan dan penindasan serta menghilangkan diskriminasi dan menegakkan demokrasi.
2. Implementasi permendikbud
No 23 Tahun 2015. Permendikbud ini menjelaskan pentingnya penumbuhan budi
pekerti (PBP) dikalangan peserta didik dengan kontrol orang tua di rumah yang
terkoneksi dengan para guru di sekolah.
3. Institusi
sekolah perlu adanya kerjasama dimensi rumah (orang tua) dan dimensi
sekolah (para guru) dengan menggunakan buku penghubung. Maka
penggunakaan buku penghubung ini akan menjadi kendali dan sekaligus apresiasi
terhadap dinamika dan perkembangan anak remaja disekolah dan diluar sekolah.
4. Kemenag selaku
institusi agama senantiasa memberi pengarahan, penyuluhan dan pendidikan
terhadap masyarakat agar senantiasa waspada terhadap aliran menyimpang.
5. Masyarakat
hendaknya membentuk organisasi kewaspadaan dini terhadap segalam macam ancaman
intern maupun ekstern NKRI.